Apa yang akan kita katakan untuk menggambarkan kondisi Aceh sekarang? “Hancur Berantakan”. Ya, mungkin itu jawaban yang paling tepat untuk kita kemukakan. Perampokan, pembunuhan, perpecahan, dan teror, masih senantiasa mengintai kita dimana saja dan kapan saja. Bahkan bisa kita katakan, kondisi Aceh sekarang lebih parah daripada ketika masa konflik dulu.
Kenapa
demikian? Karena ketika masa konflik dulu, berbagai macam kasus pembunuhan yang
terjadi karena memang Aceh sedang dalam kondisi perang. Dan perangnya pun
jelas, yaitu perang antara Pemerintah Indonesia yang ingin mempertahankan
kedaulatan NKRI dalam bingkai Pancasila, dengan GAM yang menuntut kemerdekaan
dan ingin mendirikan Negara Islam. Adapun sekarang, pembunuhan, perampokan, dan
teror yang terjadi justru antar sesama rakyat Aceh tanpa adanya tujuan dan
maksud yang jelas. Sangat disayangkan memang, padahal sekarang ini Aceh sedang
berada dalam kondisi damai setelah adanya perjanjian MoU Helsinki antara
Pemerintah RI dan GAM.
Tapi
sebentar. Jika memang sekarang ini Aceh sedang berada dalam kondisi damai, lalu
mengapa ini semua bisa terjadi? Apakah seperti ini yang dikatakan Damai? Bukankah
damai itu artinya aman, nyaman, tenang dan tentram? Atau mungkin ada yang
dikatakan damai tetapi dalam kondisi penuh dengan pembunuhan dan teror serta
perpecahan seperti sekarang? Tetapi jika sekarang ini bukan damai, apakah
berarti sekarang ini Aceh dalam kondisi perang? Ah, membingungkan. Sebaiknya
kita tinggalkan saja pertanyaan-pertanyaan itu.
Yang
penting untuk kita perhatikan sekarang adalah, mengapa setelah adanya MoU
Helsinki ini, rakyat Aceh justru saling ribut dan berpecah belah antar sesama,
bahkan sampai ada yang saling membunuh??!! Apakah mungkin sebentar lagi Aceh
akan mengalami perang saudara??!! Kemudian mengapa setelah adanya MoU Helsinki
ini semakin banyak investor-investor asing yang datang untuk mengambil kekayaan
alam Aceh yang melimpah ruah??!! Kemudian mengapa setelah adanya MoU Helsinki
ini semakin banyak aliran-aliran sesat yang bermunculan ditengah umat??!!
Kemudian mengapa setelah adanya MoU Helsinki ini moral dan akhlak masyarakat
Aceh –kecuali yang dirahmati Allah- semakin tersesat??!!
Padahal
selama ini Perjanjian MoU Helsinki begitu diagungkan oleh sebagian besar
masyarakat Aceh. Ada yang menganggap MoU Helsinki ini adalah rahmat dari Allah.
Ada pula yang menganggap dengan adanya MoU Helsinki ini, sama saja dengan
rakyat Aceh sudah mendapatkan kemerdekaannya, akan tetapi tetap dalam bingkai
NKRI. Bahkan ada petinggi Partai Aceh (PA) ketika menuntut haknya kepada
Pemerintah Indonesia mengatakan : ““kita tidak minta lebih pada pemerintah
Indonesia, tapi cukup sesuai dengan MoU Helsinki”!!!
Demikianlah,
MoU Helsinki benar-benar menjadi sesuatu yang diagungkan dan telah menjadi
harapan besar bagi masyarakat Aceh untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan
yang telah berlangsung puluhan tahun tanpa ada penyelesaian. Tapi sayangnya,
ternyata harapan itu jauh dari kenyataan. Sebagaimana yang telah disebutkan,
kondisi Aceh sekarang bahkan menjadi semakin parah dan sangat memungkinkan justru
akan muncul perang saudara.
Maka
tulisan ini hadir untuk sedikit memberikan pencerahan kepada masyarakat Aceh
tentang apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa dibalik Perjanjian MoU Helsinki
yang telah menjadi harapan besar bagi Rakyat? Dan bagaimana solusi untuk keluar
dari permasalahan ini?
Amerika, Sang
“Polisi Dunia”
Ketika
berbicara tentang permasalahan politik, maka ada satu hal yang tidak bisa
dihindari oleh hampir seluruh Negara yang ada di dunia, yaitu campur tangan
Amerika Serikat (AS) yang mengklaim dirinya sebagai Polisi Dunia. Ya, Sebagai
salah satu pemenang Perang Dunia II (PD II) dan anggota tetap Dewan Keamanan
PBB dengan hak vetonya, serta dibantu oleh sekutunya dari aliansi Uni Eropa, negara
yang lahir pada tanggal 4 Juli 1776 ini mulai menanamkan kuku-kuku kekuasaan
atas ekonomi dan politik negara-negara kecil di dunia pasca PD II.
Amerika
dulunya bukan terlahir sebagai polisi dunia. Di abad – 16, dirinya baru saja
ditemukan oleh bangsa Barat. Sebuah New World, begitulah yang dikatakan oleh
Vasco de Gama saat menemukan benua Amerika. Meskipun sebenarnya Vasco de Gama
dan Amerigo Vespuci bukanlah orang pertama yang menginjakkan kakinya di benua
tersebut, melainkan sudah ada 500 koloni suku Indian disana. Namun seorang
professor di sebuah universitas barat menyatakan bahwa nama ‘Amerika’ pastilah
diambil dari nama seorang Amerigo Vespuci.
Perlu untuk
kita ketahui, pada mulanya benua gersang ini dikuasai oleh kolonial Inggris di
Amerika Utara (Amerika Serikat), dan Spanyol di Amerika bagian Selatan.
Perlahan tetapi pasti, Amerika di bagian utara ternyata lebih menunjukkan
proses kemajuan yang sangat signifikan sebagai negara Industrialis, ketimbang
saudaranya di Selatan yang masih berkecimpung dalam kebudayaan agraris. Kereta
api, perkembangan teknologi seperti telepon, telegraf, dan listrik bahkan
tumbuh menjadi pusat bisnis dunia saat itu. Jika kita pernah mengetahui
Perusahaan Baja Rockefeller yang terbesar di Amerika Serikat, maka perusahaan
itu adalah satu potret kemajuan Amerika Utara di abad–18. Hingga pada tahun
1776, wilayah ini merdeka dengan Thomas Jefferson sebagai pahlawan populernya.
Amerika Utara berubah menjadi negara federasi atau yang lebih kita kenal
sekarang sebagai Amerika Serikat. Berbagai konsensus, kebijakan luar negeri,
undang–undang, serta perluasan ke Barat pun dilaksanakan. Dari sinilah
perjalanan Amerika Serikat menuju negara Adidaya dimulai.
Awalnya
Amerika bukan satu-satunya Negara adidaya di dunia, karena disamping mereka ada
Uni Soviet. Uni Soviet dianggap sebagai penghalang Amerika untuk memperoleh
gelar negara Adidaya Tunggal. Polisi Dunia tidak akan terbentuk jika Uni Soviet
masih memiliki kekuatan yang setara dengan Amerika. Akhirnya, kedua Negara
besar inipun terlibat dalam Perang Dingin berkepanjangan pasca Perang Dunia II.
Namun Uni
Soviet kemudian terjebak oleh kebodohannya sendiri ketika memutuskan untuk
menginvasi Afghanistan. Dalam invasinya tersebut, ternyata mereka bukan hanya
melawan bangsa Afghan sendiri, akan tetapi mereka harus melawan seluruh umat
Islam yang pada waktu itu bersatu dari berbagai belahan dunia menuju
Afghanistan untuk membantu perjuangan rakyat Afghan. Maka jadilah peperangan
itu menjadi perang antara Uni Soviet melawan seluruh umat Islam. Uni Soviet pun
kalah dan muka mereka tersungkur ke tanah dengan memalukan. Tidak lama kemudian
Negara mereka hilang dari peta dunia dan sejak saat itulah Amerika menasbihkan
Negara mereka sebagai satu-satunya Negara adidaya dan menjadi Polisi Dunia.
Semenjak klaim
sepihak tersebut, tidak ada satupun urusan politik negara-negara di dunia,
melainkan Amerika ikut campur didalamnya. Mereka tidak segan-segan untuk
membombardir sebuah Negara jika dirasa Negara tersebut akan merugikan atau
bertentangan dengan kebijakan politik mereka. Padahal sebenarnya sebutan untuk
mereka lebih tepat sebagai Preman Dunia daripada Polisi Dunia. Bagaimana tidak,
setiap kita teringat akan Amerika, maka saat itu juga kita teringat akan berbagai
kekejaman, amoralitas, penjajahan, liberalisme, dan keburukan-keburukan lainnya
yang di dukung oleh kekuatan ekonomi kapitalis mereka.
Kezhaliman
yang dilakukan oleh Amerika kepada bangsa-bangsa di dunia dan kepada bangsa
muslim khususnya sungguh luar biasa. Penduduk Iraq telah kehilangan rakyatnya
sebanyak lebih dari dua juta orang akibat diberlakukannya embargo. Sedangkan
Palestina kehilangan separuhnya, dari korban meninggal hingga yang luka akibat
berlangsungnya kezhaliman zionis yang mendapat dukungan penuh oleh Amerika di
bumi mereka sejak setengah abad lebih. Kemudian bangsa Afghan, juga akibat
embargo, meninggal 70.000 muslim. Tak jauh berbeda dengan kaum muslimin di Filiphina, Indonesia,
Kosovo, Somalia,
Libya, Sudan dan bangsa muslim lain yang
tangan Amerika berlumuran dengan darah mereka.
Belum lagi
berjuta-juta orang non muslim di benua hitam Afrika dan di Jepang, di Serbia,
Amerika selatan serta negara di dunia lainnya yang mana sudah lama merasakan
permusuhan Amerika serta kezhalimannya yang mengerikan.
Mereka semua,
berjumlah sekitar puluhan juta. Ini tidak termasuk orang-orang yang diusir dan
pengungsi serta diasingkan di luar negeri mereka sendiri melalui tangan
Amerika. Fihak Irak telah mengajukan surat peringatan kepada PBB tanggal
16/7/1422 H. Didalam surat peringatan tersebut disebutkan bahwa Amerika sejak
tahun 1879 M kira-kira, telah menyulut 72 api peperangan di dunia, baik secara
langsung maupun melalui perantara orang lain. Ini dikatagorikan yang paling mengerikan dalam sejarah
kehidupan manusia.
Tragedi Runtuhnya
WTC dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Amerika
Pada tahun
1998, menteri pertahanan Amerika Serikat William S. Cohen mengatakan bahwa
hingga saat ini Amerika Serikat tidak akan memiliki rival yang bersifat global,
ataupun kelak muncul dalam waktu dekat. Maksudnya, ketiadaan rival secara tidak
langsung memberikan garansi bahwa tidak akan ada ancaman keamanan terhadap
wilayah kedaulatan Amerika Serikat. Cohen mengestimasi bahwa lingkungan
keamanan (security environment) pada tahun 1998 hingga tahun 2015 akan ditandai
dengan ketiadaan kekuatan global yang menjadi kompetitor Amerika Serikat dalam kapabilitas
militer seperti apa yang dilakukan oleh Soviet dimasa perang dingin. Kapabilitas
ini tidak akan mampu tersaingi bahkan hingga 15 tahun ke depan.
Akan tetapi
Allah memang Maha Berkuasa. Ditengah kepongahannya sebagai penguasa tunggal
dunia, Amerika dikejutkan dengan sebuah serangan dari para mujahidin yang
perwira. Sembilan belas orang pemuda Islam pilihan dari barisan tentara-tentara
Allah yang tulus hanya membutuhkan 500.000 dollar saja untuk memukul Amerika,
Sang Penguasa Tunggal Dunia, dan membuat mereka sempoyongan.
Peristiwa runtuhnya
menara kembar WTC 11 September 2001, yang kemudian dikenal dengan Tragedi 9/11,
merupakan serangan paling spektakuler dari mujahidin Al-Qaeda untuk mencederai
Amerika Serikat. Serangan barakah ini benar-benar sangat mematikan karena dampak negatif material yang dialami oleh Amerika melampaui
jumlah yang dibayangkan. Serangan ini telah menimbulkan kerugian senilai puluhan
milyar dollar, dan dalam tempo singkat kerugian naik hingga bilangan ratusan
milyar dollar serta mengarah kerugiannya sampai satu trilyun dollar. Artinya seribu
milyar dollar lebih, hanya dalam tempo sekejap. Bangunan WTC “Alto-M” berisi
para pemikir dan articulate ekonomi yang banyak sekali. Di antaranya ada 2.000
pegawai yang berkerja di perusahaan dagang pada bursa efek yang meninggal
dunia.
Demikianlah, ratusan perusahaan raksasa kehilangan
pemikir dan file-file dokumennya. Sedangkan dua bangunan menara ini, senilai
lebih dari 23 Milyar dollar. Namun, berita-berita yang ada tidak terfokus
kepada kontruksi-kontruksi bangunan yang banyak dan memenuhi bangunan-bangunan
itu, yang runtuh sedikit demi sedikit sebagai tambahan kerugian materi. Seolah kita
dihadapkan kepada sebuah serangan nuklir taktis. Radio Suara Amerika menyatakan
bahwa harga dari bangunan-bangunan yang runtuh termasuk dua menara WTC,
mencapai 45 Milyar dollar lebih.
Asal tahu saja, reruntuhan bangunan ini mencapai
setengah juta ton. Gubernur New York mengatakan bahwa mereka memerlukan waktu
enam bulan untuk menghilangkan reruntuhan dan operasi pembersihan. Dan beban
biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukannya adalah 20 milyar dollar
sebagaimana yang telah dianggarkan khusus oleh kongres.
Dampak-dampak berikutnya mulai meluas. Perusahaan
asuransi mulai memperbincangkan tentang musibah ini. Artinya, ketidaksanggupan
perusahaan itu untuk membayar hak-hak yang semestinya dibayar. Mulai juga
pembicaraan seputar biaya ganti rugi untuk mereparasinya. Jumlah yang ditaksir
harian Daily New York mencapai 25 milyar dolar. Kejadian ini mengakibatkan 108
ribu orang kehilangan pekerjaan, dan ini tidak termasuk para pegawai usaha
penerbangan. Dinas Perpajakan juga mengalami kerugian hingga tiga miliar
dollar. Sedangkan kerugian usaha perhotelan hingga mencapai 7 juta dollar
perhari.
Efek dari serangan ini merambat menyeberangi samudera
Atlantik mengenai perusahaan penerbangan Eropa. Baru berjalan dua pekan,
sebanyak lebih dari 68 ribu karyawan di non aktifkan, hanya di pabrik pembuatan
pesawat di Amerika serikat. Perusahaan-perusahaan Amerika mengajukan bantuan
dana pertama kepada pemerintah sebesar 24 milyar dollar, yang mana 15 milyar
dollar di antaranya dikhususkan pemerintah sebagai tunjangan pertama untuk
membantu perusahaan-perusahaan itu. Sebagian besar perusahaan penerbangan Eropa
mengumumkan bakal terjadinya berbagai kerugian dikarenakan ancaman bom.
Sementara itu, beberapa rencana sangat rahasia telah mengumumkan bahwa
perusahaan-perusahaan ini mengalami kolaps akibat dari serangan tersebut.
Dalam sidangnya di Brussel, para komisaris perusahaan
penerbangan juga menyatakan turunnya pangsa penjualan pesawat hingga dua milyar
dollar, turunnya penjualan suku cadang pesawat hingga 6,5 milyar dollar di
tahun 2002 dan 6,7 milyar dollar di tahun 2003.
Dampak serangan ini juga berpindah ke Timur Tengah.
Negara-negara Timur Tengah mengumumkan bahwa pasar transportasi akan mengalami
stagnasi, bahkan di sebagian negara ada kemungkinan gulung tikar. Amerika dan
negara-negara barat juga telah menyarankan untuk membatalkan perjanjian dengan
beberapa negara umat Islam yang juga mengalami kemunduran gara-gara hal itu,
lantaran hancurnya bidang produksi dan teknologi yang kedua-duanya dikendalikan
oleh para pakar dari barat.
Tetapi, memang kerugian ekonomi terbesar dari reaksi
ledakan ini adalah yang dialami Bursa Efek di New York, di mana pasar transaksi
harta Amerika dalam sehari mengalami kerugian sebesar 500 milyar dollar,
berarti setengah trilyun. Dan bertambah sepekan kemudian.
Yang jelas, kocek Amerika memasuki ombak dari sikap
kemewahan dalam urusan harta, melakukan rekontruksi-rekontruksi serta
persiapan-persiapan militer. Padahal anggaran pertama kali yang diberikan
khusus untuk persiapan-persiapan adalah 40 milyar dollar. Sementara
perekonomian Amerika sebelum terjadinya serangan ini sedang menghadapi
kemunduran cukup serius. Semua indikasi yang ada mengisyaratkan bahwa itu akan
terus berlanjut dan semakin dalam saja. Ada beberapa peneliti ekonomi yang
mulai membandingkan kerugian-kerugian ini dengan kerugian krisis ekonomi
terbesar dalam tiga dasawarsa selama abad dua puluh. Para pelaku usaha
ekspor-impor juga merasakan berbagai hambatan melelahkan disebabkan menyusutnya
perjalanan via pesawat, dari dan menuju Amerika serikat.
Perekonomian Amerika, dalam satu pilarnya bersandar
kepada opini keamanan, yang selama ini menganggap Amerika dibentengi dengan
berbagai pelindung di sekitarnya serta sangat jauh dari serangan-serangan
dunia. Tapi ternyata setelah adanya serangan ini, ia seperti sebuah pulau besar
yang berada persis di tengah-tengah kekacauan ini. Kehilangan unsur keamanan
dilihat dari hancurnya wibawa negara besar ini, akan terus melahirkan
pengaruh-pengaruh ekonomi di atas gelombang yang susul menyusul.
Mengkaitkan masalah perekonomian dan pengaruhnya,
sesungguhnya pola kehidupan orang Amerika benar-benar telah mengalami serangan
di saat mereka tuli. Amerika saat itu benar-benar menyaksikan kondisi siaga
keamanan yang merubah kehidupan serba mewah orang Amerika menuju neraka yang
tak tanggung-tanggung. Pemberlakuan pemeriksaan keamanan sedemikian ketat di
bandara-bandara, tempat-tempat wisata dan kota-kota besar. Amerika seperti tidak
akan pernah lagi mengecap rasa aman meskipun di tengah-tengah negaranya
sendiri. Maka biarlah mereka sedikit merasakan apa yang dirasakan oleh kaum
muslimin selama puluhan tahun akibat ulah mereka.
Para pemuka Amerika telah berkubang dalam lumpur dan
kini mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Sehari sebelum serangan, disebutkan
dalam sebuah koran bahwa CIA memiliki pesawat-pesawat sebesar lebah sebagai
mata-mata. Ternyata semua omong kosong ini terungkap dan nampaklah
kepalsuannya. Amerika dengan semua kekuatan, kekuatan marinir dan semua
ocehannya ternyata tidak mampu melindungi lokasi departemen pertahanan dan
gedung putihnya. Serangan ini telah menampakkan wujud asli dari pemerintah
Amerika serta keamanan Amerika yang sebenarnya.
Diperkirakan, produksitifitas dunia secara global
mengalami kemunduran sebanyak 747 milyar dollar, artinya 2,2 % dari pemasukan
dunia tahun 2002 M sebagaimana disebutkan dalam laporan yang dipublikasikan
Biro Kajian Ekonomi di London. Presenter dari laporan itu, Douglas Makola Mist,
mengatakan : “Semua kerugian yang teranalisa ini adalah ketika dalam kondisi
tidak ada aksi serangan lain atau reaksi berupa perang, kalau itu terjadi,
kerugian akan semakin berlipat ganda”. (Dikutip dari buku Haqiqatul Harbis
Salibiyatil Jadidah)
Perang di
Afghanistan dan Irak telah melemahkan ekonomi makro AS
Tetapi tragedi itu ternyata benar-benar telah membuat
Amerika kehilangan akal sehatnya. Dimulai pada Oktober 2001 setelah serangan
WTC 11 September, Amerika Serikat melalui Presidennya pada waktu itu, George W.
Bush, memulai kampanye Perang Melawan Terorisme mereka di Afganistan, dengan
tujuan menggulingkan kekuasaan Taliban, yang dituduh melindungi Al-Qaeda.
Bahkan tidak cukup sampai disitu, pada tahun 2003, Amerika kembali menginvasi
Irak dengan alasan yang tidak jelas. Demikianlah Amerika, mereka tetap saja
menjadi sebuah negara yang sombong dan arogan, bahkan didalam kondisi terjepit
sekalipun. Reaksi spontan Presiden AS ketika itu,
George W. Bush, untuk menginvasi Afghanistan dan kemudian Irak, benar-benar
telah menggerogoti perekonomian bangsa itu.
Joseph E.
Stiglitz, seorang Profesor di Columbia University, peraih Nobel di bidang
ekonomi, serta pengarang “Freefall: Free Markets and the Sinking of the Global
Economy”, mengatakan : “Serbuan ke Afghanistan pasca serangan teroris masih bisa
dipahami. Tapi, invasi ke Irak sungguh tak ada kaitannya dengan Al-Qaeda -bagaimanapun
kerasnya Bush berupaya mencari-cari hubungannya. Kemudian, perang AS melawan
Irak menjadi amat mahal -yang pada awalnya membutuhkan lebih dari US$60 miliar.
Ketika saya
dan Linda Bilmes menghitung biaya perang yang mesti dikeluarkan AS tiga tahun
lalu, angka kasar berada di kisaran US$ 3-5 triliun. Sejak itu, anggaran kian
meningkat. Dengan nyaris 50 persen jumlah tentara yang kembali dan bisa
menerima santunan cacat tubuh dan lebih dari 600 ribu veteran yang menjalani
perawatan medis, kami menduga bahwa uang bagi tentara yang cacat dan biaya
kesehatan akan mencapai sekitar US$ 600-900 miliar.
Di luar itu,
biaya sosial yang muncul seperti tindakan bunuh diri yang diambil oleh para
veteran perang (yang beberapa tahun belakangan menyentuh 18 kejadian per hari)
dan retaknya rumah tangga tak bisa dihitung secara pasti.
Bahkan, jika
Bush mendapatkan maaf atas jasanya menyertakan AS dan negara-negara lain dalam
perang melawan Irak, tak ada ampun bagi Bush atas cara yang ia pilih untuk
membiayai perang. Sepanjang sejarah, perang Bush itu adalah satu-satunya yang
dibiayai sepenuhnya dari pinjaman. Pada saat AS tengah berperang, dengan
defisit yang kian meningkat setelah pemotongan pajak di tahun 2001, Bush
memutuskan bahwa golongan kaya di negeri itu pantas mendapatkan keringanan
pajak.
Hari-hari ini,
AS tengah berkutat dengan pengangguran dan defisit. Ancaman yang bisa
menjatuhkan AS di masa mendatang dapat dilacak hingga perang di Afghanistan dan
Irak. Melonjaknya belanja pertahanan, bersamaan dengan pemotongan pajak,
merupakan faktor kunci yang menguak penyebab mengapa AS beringsut dari yang
mulanya mencetak keuntungan fiskal hingga 2 persen dari PDB ketika Bush
terpilih menjadi dirongrong utang. Belanja langsung pemerintah untuk kedua
perang itu mencapai kira-kira US$2 triliun - US$17.000 per keluarga.
Selain itu,
saya dan Bilmes menegaskan dalam buku kami yang berjudul “The Three Million Dollar
War”, bahwa perang di Afghanistan dan Irak telah melemahkan ekonomi makro AS
dan memperuncing defisit serta utang. Kini, gejolak di Timur Tengah memicu
membubungnya harga minyak. Bangsa Amerika dituntut mengeluarkan uang lebih
banyak demi mengimpor minyak. Padahal, mereka bisa memakai uang itu untuk
membeli lebih banyak produk domestik.
Namun, Bank
Sentral AS (Federal Reserve) menyembunyikan keburukan itu dengan menciptakan
gelembung kredit perumahan yang akhirnya mendorong ledakan konsumsi. Butuh
bertahun-tahun untuk mengatasi masalah itu”. –selesai-
Demikianlah,
keadaan ekonomi Amerika yang carut marut pasca serangan WTC dan invasi mereka
ke Afghanistan dan Irak. Mereka harus mencari jalan keluar lain secepatnya
untuk memulihkan perekonomian mereka. Dan tentu sasaran utamanya adalah
negara-negara dunia ketiga.
Musibah
Tsunami 26 Desember 2004 dan Misi Terselubung Amerika cs
Pada tanggal
26 desember 2004, terjadi Gempa bumi tektonik berkekuatan 8,5 SR berpusat di
Samudra Hindia (2,9 LU dan 95,6 BT di kedalaman 20 km di laut berjarak sekitar
149 km selatan kota Meulaboh, Aceh). Gempa itu disertai gelombang pasang
(Tsunami) yang menyapu beberapa wilayah lepas pantai di Indonesia (Aceh dan
Sumatera Utara), Sri Langka, India, Bangladesh, Malaysia, Maladewa dan
Thailand.
Musibah ini memakan
korban tidak kurang dari 200.000 jiwa, dan ratusan ribu lainnya luka-luka.
Bahkan bukan hanya itu, gelombang Tsunami juga meluluhlantakkan semua tempat dan
bangunan yang dilewatinya. Sementara itu data jumlah korban tewas paling banyak
diderita oleh Indonesia, yang dialami rakyat Aceh dan Sumatera Utara. Itulah
kisah suram yang terjadi di penghujung tahun 2004 silam yang telah membuat
masyarakat dunia, khususnya Indonesia, berlinangan air mata.
Namun tidak
demikian halnya dengan Amerika Serikat. Menlu AS pada waktu terjadinya musibah
Tsunami tersebut, yaitu Condoleezza Rice, menyebut bahwa Tsunami yang terjadi
sebagai “peluang bagus yang akan memberi keuntungan besar bagi Amerika”.
Amerika
melihat Tsunami Aceh ini sebagai satu peluang bagus untuk mencari jalan keluar bagi
negaranya yang sedang dilanda kesulitan ekonomi pasca serangan 11 September.
Belum lagi, pada tahun itu biaya perang di Afghanistan dan Irak sedang
hebat-hebatnya. Maka jadilah Amerika menyusun strateginya untuk menarik
keuntungan sebesar-besarnya di daerah-daerah yang tertimpa bencana. Caranya,
mereka masuk ke daerah-daerah yang tertimpa bencana tersebut dengan kedok ingin
memberikan bantuan kemanusiaan, dan tentu, yang paling menarik perhatian mereka
adalah Aceh.
Mengapa Aceh? Jawabannya
adalah karena Aceh merupakan pintu masuk Selat Malaka, jalur utama dari Samudra
Hindia dan Atlantik ke Asia Timur dan Pasifik. Selain itu Aceh juga sangat kaya
dengan sumber daya minyak dan gas alam. Inilah yang membuat Amerika yang
dibantu oleh sekutu-sekutunya dari Uni Eropa begitu bersemangat untuk melirik
Aceh.
Seorang
pengamat intelijen, Pitut Suharto, berkata : “Pihak barat berambisi mendamaikan
Aceh karena memang ada kepentingan asing di Aceh”.
Bahkan seorang
aktivis Yahudi dan pemikir antiglobalisasi, Naomi Klein, menyatakan : “Jangan
pernah percaya dengan mulut manis dan bantuan kemanusiaan yang diberikan oleh
kaum imperialis yang berkedok globalisasi”.
Untuk semakin
memperjelas pemaparan diatas, kami akan membawakan kembali beberapa petikan
dari Tabloid Intelijen Nomor 26/V/2009 yang pernah membahas tentang
permasalahan ini :
§ Di
dalam hal 5 disebutkan :
“Setelah Timor
Timur lepas, Aceh dan Papua masuk dalam daftar tunggu. Pertimbangan
strategisnya, Aceh merupakan pintu masuk Selat Malaka, jalur utama dari Samudra
Hindia dan Atlantik ke Asia Timur dan Pasifik. Selain itu Aceh juga sangat kaya
dengan sumber daya minyak dan gas alam”.
§ Kemudian
dilanjutkan pada hal 6 :
“Selangkah
lebih maju dari Papua, tangan-tangan AS dan Yahudi telah mencengkram Aceh. Saat
ini wilayah Aceh memang menjadi ajang operasi USAID. Bahkan untuk kepentingan
kapitalis di Aceh, George Soros,
tokoh kapitalisme global sekaligus orang paling berpengaruh di AIPAC,
meluangkan waktu untuk mengunjungi Aceh. Pendiri Open Society Institute (OSI)
itu dikenal dekat dengan Hillary Clinton. Tak salah jika dalam kunjungan ke
Aceh selalu mencela kebijakan George W. Bush. Melalui Open Society Foundation,
yayasan miliknya yang bekerja di seluruh dunia, Soros telah menggelontorkan donasi
sukarela yang luar biasa. Untuk memuluskan proyek USAID, miliarder keturunan
Yahudi itu menggunakan OSI, Yayasan Tifa, dan Tokoh MoU Helsinki, Martti
Ahtisaari sebagai pelaksana lapangan. Setidaknya, Soros telah membiayai
sejumlah proyek infrastruktur di Aceh.
Bill Clinton
sendiri terlibat restrukturisasi Aceh. Dimana Clinton bertindak sebagai Duta
Khusus Sekjen PBB untuk pemulihan Tsunami. Clinton sempat empat kali berkunjung
ke Aceh. Dalam satu kesempatan Clinton juga bertemu dengan Malik Mahmud dari
GAM.
Setidaknya
USAID telah menggelontorkan dana tak kurang US$ 409 juta untuk merekonstruksi
wilayah Aceh pasca Tsunami. Jalan Hillary (Clinton, -ed) untuk menggarap Aceh
memang terbuka. Penguasa Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pun menyambut baik
tawaran Soros. Kabarnya, yayasan Soros telah menggelontorkan dana Rp.500
miliyar untuk kampanye pemenangan Partai Aceh, yang didirikan Gerakan Aceh
Merdeka.
Sumber
INTELIJEN mengungkapkan, perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam rekonstruksi
Aceh merupakan hasil dari lobi Yahudi (AIPAC). “Jika Peace Corp berkiprah di
Aceh, julukan Serambi Mekkah akan berganti menjadi Serambi Tel Aviv”,
ungkap sumber INTELIJEN”.
§ Kemudian
dilanjutkan lagi pada hal 11 :
“Lihat saja di
Aceh, pasca bencana tsunami dan Perjanjian Helsinki 2005, kehadiran jaringan
Soros begitu marak. Soros secara pribadi juga telah beberapa kali mengunjungi
Aceh. Sumber INTELIJEN menyebut untuk persiapan Pemilu Lokal di Aceh, Soros
dikabarkan telah membiayai Partai Aceh yang merupakan wadah perjuangan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). Sebelumnya Perundingan RI-GAM juga tak lepas dari campur
tangan sang “predator berbulu filantropi” yahudi ini. Untuk kasus Aceh, Soros
menggunakan jasa perunding ulung Damien ‘the spin doctor’ Kingsbury yang juga
berdarah yahudi”.
§ Dan
tersebut dengan jelas didalam hal.3 :
“Banyak NGO
asing yang memperebutkan “kue pembangunan Aceh” yang dianggarkan mencapai lebih
Rp. 41 triliun ini. Sampai-sampai perusahaan minyak Amerika, Halliburton pun
minta jatah proyek. Perusahaan yang paling diuntungkan dengan recovery dan
rekonstruksi Irak di era Bush ini menghadap Presiden SBY untuk menawarkan
proyek-proyek migas di Aceh.
Tak hanya
kapitalisme global yang diuntungkan, tapi juga raja-raja kecil di tingkat
lokal. Pada kasus rekonstruksi Aceh dan Nias, Perdana Menteri Singapura Lee
Hsien Loong konon menjadi koordinator. Sementara di tingkat lokal perusahaan
dari kelompok Bukaka dan Bakrie juga mendapat peran penting. Alhasil, proyek
recovery dan rekonstruksi Aceh lebih menyerupai proyek menata ulang segala
sektor, dibanding membantu mereka yang ditimpa bencana”.
Kemudian masih
pada halaman yang sama dilanjutkan :
“Selain menata
kembali segala sektor pasca tsunami, proyek “kapitalisme bencana” juga berhasil
menjerat negara berkembang kedalam jebakan utang luar negeri. Dalam kasus Aceh,
upaya rekonstruksi yang lebih banyak melibatkan NGO asing justru mendorong
Pemerintah untuk berhutang kembali.
Negara donor
malah memberi angin kepada Indonesia dengan memenuhi permohonan moratorium
pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo kala itu. Sementara untuk menutup
defisit anggaran yang timbul dari proyek rekonstruksi Aceh, Pemerintah
lagi-lagi mendapat opsi pahit untuk memprivatisasi BUMN sebagaimana menjadi
saran tetap Bank Dunia.
Inilah wajah
Aceh yang kini bersiap menghadapi Pemilu lokal 2009. Wajah Aceh yang sudah
ditata ulang oleh “kapitalisme bencana” ini seolah menjadi potret bagaimana
cara kerja mesin kapitalisme global melakukan ekspansinya.
Tentu kalangan
globalis harus berterima kasih kepada sejumlah tokoh dibalik perdamaian Aceh,
seperti Damien Kingsbury, Pieter Feith, Martti Ahtisaari, Anthony Zinni, serta
mitra lokal dari Indonesia dalam perundingan yang menghasilkan MoU Helsinki”.
–selesai--.
Apa yang
diungkapkan didalam Tabloid INTELIJEN ini bukan hanya sebatas praduga atau
analisa murahan semata. WikiLeaks membocorkan memo berkategori rahasia yang
dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri AS yang membahas soal tambang dan
pabrik timah di dekat Selat Melaka, Indonesia–yang diincar AS karena dianggap
vital bagi kepentingan Amerika Serikat (AS). Selain itu, Washington juga
menandai sejumlah sumber daya dan lokasi strategis lainnya di mancanegara yang
patut diperhatikan bagi kepentingan Negeri Paman Sam.
Memo ini berkategori
rahasia, yang bernomor referensi STATE 015113. Memo diplomatik itu
menginstruksikan kedutaan-kedutaan besar AS di mancanegara untuk menyusun
daftar infrastruktur yang dianggap vital bagi kesehatan publik, keberlangsungan
ekonomi dan keamanan AS.
Tambang dan
pabrik timah di Selat Melaka, Indonesia, termasuk dalam ratusan aset yang
berkatagori infrastruktur penting dan sumber daya kunci bagi AS. Daftar itu
dimuat dalam Critical Foreign Dependencies Initiative 2008, yang bertujuan
untuk mendata sejumlah aset vital di luar negeri untuk melindungi kepentingan
AS dari berbagai ancaman, baik terorisme maupun bencana alam.
Jadi Amerika cs
membutuhkan Perjanjian MoU Helsinki untuk menjalankan misi-misinya di Aceh. Entah
karena sebuah kebetulan waktu itu Pemerintah Indonesia dan GAM akan
merencanakan sebuah perjanjian damai, atau mungkin memang Perdamaian itu
sendiri masuk kedalam skenario Amerika cs? Tapi yang jelas MoU Helsinki penuh
dengan kejanggalan. Apalagi jika kita melihat kepada isinya yang sangat sarat
dengan kepentingan asing. Perhatikan beberapa point dari isi Perjanjian MoU
Helsinki berikut ini :
Didalam
pembukaan MoU Helsinki disebutkan :
Pemerintah Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk
penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan
bermartabat bagi semua.
Para pihak bertekad untuk
menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu
proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi
Republik Indonesia.
Pada tahun
1995, Amerika Serikat menerbitkan A National Security Strategy Engagement and
Enlargement yang memfokuskan pada tiga hal pokok sebagai tujuan utama strategi
keamanan Amerika Serikat yakni :
- Memelihara
keamanan Amerika Serikat dengan kekuatan militer yang senantiasa siap untuk
berperang.
- Meningkatkan
revitalisasi terhadap kemampuan perekonomian Amerika.
- Mempromosikan
demokrasi secara luas.
Kemudian, hal
lainnya yang semakin sejalan dengan analisa diatas adalah jika kita melihat kepada
point-point selanjutnya dari MoU Helsinki. Dalam point 1.3. tentang Ekonomi
disebutkan :
Dalam dokumen
ini tampak jelas bahwa tujuan untuk mencapai kepentingan nasional Amerika Serikat
dalam konteks keamanan akan tetap mengandalkan superioritas sektor militer
Amerika Serikat sebagai fokus utama. Sebagai negara Superpower, Amerika Serikat
merasa berkewajiban untuk dapat “menjaga” dan “memelihara” perdamaian serta mempromosikan
demokrasi sebagai bagian integral yang melekat dengan status superpower.
Presiden Bush dalam
pidato pelantikan periode kedua masa kepresidenannya pada hari Kamis, berjanji
kepada rakyat Amerika Serikat dan dunia- bahwa dia bersumpah untuk
mempromosikan demokrasi baik di dalam dan di luar negeri.
"Ini
adalah kebijakan Amerika Serikat untuk mencari bantuan atau sokongan dalam mendukung
pertumbuhan gerakan demokrasi dan institusi-institusi di setiap bangsa serta
membudayakan tujuan akhir yaitu mengakhiri tirani di dunia kita", kata
Bush dalam pidato pelantikannya setelah upacara penyumpahan.
Kita sudah
memahami bahwa Demokrasi adalah sebuah sistem syirik yang sangat bertentangan
dengan akidah Islam (Baca : Demokrasi
Adalah Sebuah Agama). Tapi kita pun harus mengetahui, bahwa Amerika
Serikat telah menjadikan Demokrasi sebagai alat untuk menjalankan
kepentingan-kepentingan mereka di seluruh dunia. Artinya, Amerika juga memang berkepentingan
untuk menyebarkan Demokrasi, karena dengan Demokrasi akan lebih mudah bagi
mereka mengontrol Negara-negara didunia untuk mengikuti kebijakan politik
mereka. Caranya? Amerika akan mendukung salah satu partai politik yang dianggap
bisa menjalankan kepentingan mereka di Negara tersebut. Biasanya, melalui
operasi intelijen Amerika akan berusaha memenangkan partai politik tersebut didalam
Pemilu. Kita ambil contohnya adalah seperti Partai Demokrat di Indonesia.
Amerika merasa
akan sulit untuk menjalankan kepentingan mereka di suatu Negara jika
pemerintahan di Negara tersebut berbentuk tiran, seperti Irak semasa Saddam
Husain, ataupun ketika Muammar Qaddafi masih berkuasa di Libya. Akan tetapi ini
semua pun dengan catatan, jika penguasa tiran tersebut bandel dan tidak tunduk
pada kebijakan Amerika.
Adapun jika
ternyata penguasa tiran tersebut loyal penuh dan patuh pada kebijakan mereka,
maka Amerika tidak akan pernah memaksakan Demokrasi di Negara tersebut.
Contohnya seperti Arab Saudi dan sebagian besar Negara-negara Arab. Atau bahkan
sebagaimana yang terjadi di Mesir baru-baru ini. Amerika Serikat lebih menyukai
Mesir dibawah kepemimpinan Husni Mubarak daripada Mesir yang sekarang. Padahal
Mesir yang sekaranglah yang sudah menjalankan Demokrasi dengan
sebenar-benarnya. Akan tetapi karena ternyata yang menang dalam Pemilu adalah
partai dari Ikhwanul Muslimin yang notabene sering berseberangan dengan
kebijakan mereka, maka Amerika tidak menyukainya. Inilah dia Amerika yang
bermuka dua dan memiliki standar ganda dalam menyebarkan Demokrasinya.
Strategi
inilah yang kemudian diterapkan di Aceh. Pada point : 1.2. tentang
Partisipasi Politik, disebutkan :
1.2.1 Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu
tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan
akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang
memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk
partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling
lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan
kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh
dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota
Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud
tersebut.
Lalu
disebutkan didalam point 1.1.2 : Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan di Aceh akan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Aceh
akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan
diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali
dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal
ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana
kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai
dengan Konstitusi.
b. Persetujuan-persetujuan
internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan
hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan
persetujuan legislatif Aceh.
c. Keputusan-keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan
dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
d. Kebijakan-kebijakan
administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan
dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.
Sudah kita
sebutkan sebelumnya, bahwa Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya (Uni Eropa)
menggunakan Demokrasi sebagai alat untuk menjalankan kepentingan-kepentingannya
di seluruh penjuru dunia. Dan hak masyarakat Aceh untuk mendirikan partai lokal
inilah yang menjadi kunci bagi Amerika cs.
Sebagaimana
yang sudah disebutkan didalam tabloid Intelijen, bahwa operasi USAID berusaha
untuk memenangkan Partai Aceh didalam Pemilu. Setelah Pemerintah dan Legislatif
Aceh dikuasai oleh Partai Aceh, maka Amerika cs akan mudah menjalankan
misi-misinya tanpa dapat dihalangi oleh siapapun, termasuk oleh Pemerintah
Indonesia sendiri.
Coba
perhatikan isi dari point : 1.1.2, disitu jelas sekali tertulis bahwa
semua hal ihwal tentang Aceh, maka keputusannya harus melalui persetujuan Pemerintah
dan Legislatif Aceh. Sedangkan Pemerintah dan Legislatif Aceh sudah dikuasai
oleh kader-kader Partai Aceh yang telah mendapatkan sokongan penuh dari Amerika
cs. Hal ini belum lagi ditambah dalam skala nasional Partai Demokrat adalah
pemegang suara terbanyak. Maka kita tidak heran jika waktu itu Partai
Aceh bisa begitu mesra dengan Partai Demokrat.
Point ini terlihat
seolah-olah sangat menguntungkan rakyat Aceh. Tapi pada kenyataannya di
lapangan, justru point inilah yang menjadi point inti bagi Amerika cs untuk
menjalankan misi-misinya di Aceh… Wallahu a’lam.
Ada baiknya
kita melihat kembali apa yang disebutkan didalam Tabloid Intelijen Nomor
26/V/2009 pada hal 6 :
“Selangkah
lebih maju dari Papua, tangan-tangan AS dan Yahudi telah mencengkram Aceh. Saat
ini wilayah Aceh memang menjadi ajang operasi USAID. Bahkan untuk kepentingan
kapitalis di Aceh, George Soros, tokoh kapitalisme global sekaligus orang
paling berpengaruh di AIPAC, meluangkan waktu untuk mengunjungi Aceh. Pendiri
Open Society Institute (OSI) itu dikenal dekat dengan Hillary Clinton. Tak
salah jika dalam kunjungan ke Aceh selalu mencela kebijakan George W. Bush.
Melalui Open Society Foundation, yayasan miliknya yang bekerja di seluruh
dunia, Soros telah menggelontorkan donasi sukarela yang luar biasa. Untuk
memuluskan proyek USAID, miliarder keturunan Yahudi itu menggunakan OSI,
Yayasan Tifa, dan Tokoh MoU Helsinki, Martti Ahtisaari sebagai pelaksana
lapangan. Setidaknya, Soros telah membiayai sejumlah proyek infrastruktur
di Aceh.
Bill Clinton
sendiri terlibat restrukturisasi Aceh. Dimana Clinton bertindak sebagai Duta
Khusus Sekjen PBB untuk pemulihan Tsunami. Clinton sempat empat kali berkunjung
ke Aceh. Dalam satu kesempatan Clinton juga bertemu dengan Malik Mahmud dari
GAM.
Setidaknya
USAID telah menggelontorkan dana tak kurang US$ 409 juta untuk merekonstruksi
wilayah Aceh pasca Tsunami. Jalan Hillary (Clinton, -ed) untuk menggarap Aceh
memang terbuka. Penguasa Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pun menyambut baik
tawaran Soros. Kabarnya, yayasan Soros telah menggelontorkan dana Rp.500
miliyar untuk kampanye pemenangan Partai Aceh, yang didirikan Gerakan Aceh
Merdeka.
Sumber
INTELIJEN mengungkapkan, perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam rekonstruksi
Aceh merupakan hasil dari lobi Yahudi (AIPAC). “Jika Peace Corp berkiprah di
Aceh, julukan Serambi Mekkah akan berganti menjadi Serambi Tel Aviv”,
ungkap sumber INTELIJEN”.
Sangat
memungkinkan
jika MoU Helsinki ini memang dibuat untuk menjalankan
kepentingan-kepentingan Amerika cs di Aceh. Jika kita melihat kronologis
perundingan MoU Helsinki saja, dalam perundingan putaran pertama
sebenarnya para elite GAM masih bersikukuh untuk menuntut kemerdekaan.
Akan tetapi Martti Ahtisaari
mengulitimatum dan memberi peringatan kepada para elite GAM agar mereka
melupakan
ide dan pembicaraan tentang ide kemerdekaan. Martti Ahtisaari mengatakan
hanya
mau berbicara dalam kerangka otonomi khusus. Bahkan Martti Ahtisaari
mengancam
akan menggunakan pengaruhnya agar GAM tidak mendapat dukungan
international
jika tetap ngotot ingin merdeka. (Damai di Aceh, Catatan Perdamaian
RI-GAM di
Helsinki, Hamid Awaluddin, CSIS)
Dan yang
semakin mendukung hal ini adalah, pada waktu GAM mengambil Damien Kingsbury sebagai
penasehat mereka. Padahal Kingsbury adalah seorang keturunan yahudi, yang
mana sudah kita ketahui bahwasanya bangsa Yahudi memiliki misi yang sama di
seluruh dunia. (baca : Rencana
Jahat Kaum Yahudi dan Freemasonry Terhadap Dunia)
Sangat
disayangkan memang… Apakah para elite GAM telah lupa dengan firman-firman Allah
Ta’ala yang sangat banyak memperingatkan kita dari hal ini ?
“Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah : "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah
pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan
penolong bagimu”. (Qs. Al-Baqarah : 120)
“Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak suka
ada kebajikan dari Tuhanmu yang diturunkan kepadamu”. (Qs. Al-Baqarah : 105)
“…orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan
harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus”. (Qs.
An Nisa’ : 102)
“Mereka menginginkan kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah
menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka)”. (Qs. An Nisa’ : 89)
“…mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat)
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) jika mereka mampu”. (Qs. Al Baqarah : 217)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang diluar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang
menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan
oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu
ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”. (Qs.
Ali ‘Imran : 118)
1.3.1.
Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk
menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral
Republik Indonesia (Bank Indonesia).
1.3.2.
Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai
kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan
bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan
asing secara langsung ke Aceh.
Selama ini,
hutang luar negeri yang berbasis riba, disamping haram dalam Islam, pada
faktanya hanyalah alat efektif yang digunakan negara-negara barat sebagai
kreditor (pemberi hutang), terutama melalui IMF dan Bank Dunia, untuk mengintervensi,
mengeksploitasi, dan melakukan penjajahan ekonomi atas pihak debitor
(pengutang). Dalam konteks Aceh, boleh jadi hutang luar negeri yang akan
diterima Aceh kelak, harus dibayar mahal dengan menggadaikan kekayaan Aceh yang
berlimpah ruah, seperti minyak bumi dan gas kepada pihak asing (orang-orang
kafir). Inilah yang telah terjadi di Indonesia ketika IMF memaksakan agenda
privatisasi atas sejumlah BUMN yang notabene milik umat.
Syaikh
Abdurrahman Al-Maliki, salah seorang tokoh senior Hizbut Tahrir didalam bukunya
“As-Siyasatu Al-Iqtishadiyatu Al-Mutsla” (Politik Ekonomi Islam) dengan tegas
mengatakan : “Sesungguhnya hutang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek
adalah cara yang paling berbahaya terhadap eksistensi negeri-negeri Islam dan senantiasa
membuat umat menderita akibat bencana yang ditimbulkannya, disamping hutang
luar negeri itu menjadi jalan untuk menjajah suatu negara”.
Hal ini secara
terbuka diakui John Perkins, mantan anggota “perusak ekonomi” (Economy Hit Man)
dalam bukunya “Confession of an Economic Hit Man”. Dalam bukunya itu, Perkins
menulis tentang tujuan penugasannya antara lain untuk membangkrutkan
negara-negara yang menerima pinjaman raksasa tersebut, sehingga mereka
selamanya akan dicengkram oleh para kreditornya, dan dengan demikian
negara-negara penerima hutang tersebut akan menjadi target yang mudah ketika
kita menginginkan yang kita kehendaki, seperti pangkalan-pangkalan militer,
suaranya di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya.
Lebih lanjut Perkins
menulis tujuan proyek-proyek pembangunan di dunia ketiga yang diberikan hutang
oleh negara-negara barat : “Tujuan membangun proyek-proyek tersebut adalah
menciptakan laba sangat besar bagi para kontraktornya, dan membuat bahagia
sekelompok kecil elit dari bangsa penerima hutang luar negeri, sambil
memastikan ketergantungan keuangan yang langgeng (long term), dan karena itu
menciptakan kesetiaan politik dari negara-negara target di dunia”.
Sedangkan Revrisond
Baswir, seorang pakar ekonom kritis, menjelaskan bahaya dari hutang luar negeri
ini. Pada sisi efektifitasnya, secara internal, hutang luar negeri tidak hanya
dipandang menjadi penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara dunia
ketiga. Ia diyakini menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja sosial,
merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan.
Pada sisi
ideologinya, hutang luar negeri diyakini telah dipakai oleh negara-negara
pemberi pinjaman, terutama Amerika Serikat, sebagai sarana untuk
menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia. Dengan
dipakainya hutang luar negeri sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme
neoliberal, berarti hutang luar negeri telah dengan sengaja dipakai oleh
negara-negara pemberi pinjaman untuk menguras dunia.
Demikian pula
dengan hak Aceh untuk melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan
internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke
Aceh.
Mengundang
investasi asing terutama dalam pengelolaan sumber daya alam milik umat,
berpotensi menyerahkan sebagian atau keseluruhan hak kepemilikan kepada pihak
asing (Amerika cs). Jika benar-benar terjadi, jelas ini berbahaya, karena hanya
akan mengakibatkan dikeruknya kekayaan alam Aceh oleh pihak asing penjajah.
Adapun upaya
mengundang wisatawan asing ke aceh, maka ini lebih berbahaya lagi. Karena
setiap kedatangan wisatawan asing (orang-orang kafir) biasanya akan diikuti
tradisi dan gaya hidup mereka yang permissif (bebas seperti hewan) yang sangat
bertolak belakang dengan budaya Islam. Sehingga dengan demikian, sedikit demi
sedikit mereka akan mengeluarkan umat Islam Aceh dari kehidupannya yang Islami.
Lihat saja
sekarang bagaimana kondisi masyarakat Aceh. Dari tahun ke tahun pengidap virus
HIV semakin bertambah. Prostitusi berkedok cafe, salon ataupun kos-kosan semakin
menjamur. Perzinaan semakin merajalela. Para pelaku homoseks (bencong) semakin
menjadi-jadi. Pakaian-pakaian tidak syar’i semakin ngetrend, dan berbagai macam
perilaku menyimpang dan maksiat-maksiat lainnya yang mana semuanya baru ada di
Aceh setelah masuknya orang-orang kafir asing pasca perjanjian MoU Helsinki.
Mungkin
sebagian orang akan menyangkal hal ini. Mungkin mereka tidak percaya bahwa
orang-orang kafir itu berkepentingan untuk menyebarkan kehidupan ala hewaninya
di bumi serambi mekkah. Tapi ketahuilah, bahwasanya Allah Ta’ala telah
mengabarkan kepada kita akan hal ini berabad-abad yang lalu dari atas tujuh
lapis langit melalui firman-Nya :
“Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah : "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah
pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan
penolong bagimu”. (Qs. Al-Baqarah : 120)
“Mereka menginginkan kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah
menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka)”. (Qs. An Nisa’ : 89)
Bahkan kenapa kita harus jauh-jauh. Inilah mereka sendiri yang telah
mengabarkannya kepada kita. Pastor
Samuel Zwemer
dalam konggres missionaris dunia yang diadakan di Al Quds tahun 1955 mengatakan
: “Sesungguhnya tugas missionaris yang dipercayakan kepada kalian oleh
negara-negara Kristen di negeri-negeri Islam, bukanlah untuk memasukkan kaum
muslimin ke dalam agama Kristen; karena sesungguhnya ini merupakan petunjuk dan
pemuliaan bagi mereka. Sesungguhnya
tugas kalian yang sebenarnya adalah mengeluarkan orang Islam dari keislamannya
sehingga menjadi sosok makhluk yang tak mempunyai hubungan dengan Allah, yang
pada gilirannya nanti tak ada sama sekali tali ikatan yang menghubungkan antara
dirinya dengan nilai-nilai moral yang menjadi pegangan umat dalam kehidupannya. Dengan apa yang kalian lakukan itu, maka kalian
menjadi perintis ekspansi kolonialis di kerajaan-kerajaan Islam. Kalian telah
mengkondisikan semua akal pikiran di kerajaan-kerajaan Islam untuk menerima
cara hidup yang kalian cekokkan dalam benak mereka, yakni mengeluarkan orang
Islam dari keislamannya”. (Juduur Al Balaa’ : 275)
Kemudian kita lihat
kembali isi dari Perjanjian MoU Helsinki. Didalam point 1.4. tentang Peraturan
Perundang-undangan. Disitu disebutkan :
1.4.2.
Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan
prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan
Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan
mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Dan juga kita
lihat didalam point 2. tentang Hak Asasi Manusia. Yang mana
didalamnya disebutkan :
2.2.
Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh.
Dalam
pidatonya pada konvensi Tentara Amerika ke-89 (28/8/2007), Presiden Bush
berbicara mengenai “ekstremis” yang harus dilawan Amerika. Dia berbicara dalam
konteks sensasional bahwa “ekstrimis” adalah “keinginan untuk menjejalkan visi
gelap yang sama sepanjang Timur Tengah dengan menegakkan Kekhilafahan radikal
dan penuh kekerasan yang wilayahnya membentang dari Spanyol ke Indonesia”.
“These
extremists hope to impose that same dark vision across the Middle East by
raising up a violent and radical caliphate that spans from Spain to Indonesia”,
tegasnya.
Dalam
rangkaian kunjungan kerjanya ke Australia untuk menghadiri sidang APEC, Bush
juga mengajak para pemimpin Muslim untuk melawan pihak-pihak yang ingin
menegakkan syari’ah dan Khilafah. “Kita harus membuka lembaran baru dalam
perang melawan musuh kebebasan. Melawan mereka yang di awal abad XXI ini
menyerukan kaum Muslim untuk mengembalikan Khilafah dan penerapan syari’ah”,
demikian dalam suatu wawancara untuk IA Malaysia yang dikutip oleh ITAR-TASS.
(http://www.demaz.org, Kamis, 6/9/2007)
Jadi
orang-orang kafir itu, terutama pentolannya Amerika Serikat, tidak akan pernah
mengizinkan umat Islam untuk menerapkan Syari’at Islam secara kaffah. Dalam
konteks Indonesia, Aceh lah yang akan menjadi perhatian khusus mereka. Karena
dari realita, masyarakat Aceh lah yang sekarang ini benar-benar ingin
menagakkan Syari’at. Kemudian dilihat dari fakta sejarah, mereka mengetahui
dengan pasti bagaimana heroiknya bangsa Aceh ketika sudah menerapkan Syari’at
Islam secara kaffah. Maka point diatas menjadi point paling penting bagi mereka
untuk menghalangi tegaknya kembali Syari’at Islam di bumi Serambi Mekkah.
Perhatikan
saja. Disitu disebutkan bahwa ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan
prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan
Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan
mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Bukankah ini adalah sesuatu yang
aneh?? Sudah jelas bahwa di Aceh yang akan diberlakukan adalah Syari’at Islam.
Tapi kenapa ketentuan hukumnya bukan berdasarkan Islam??
Jadi kita
tidak heran ketika ada sedikit saja hukum yang benar-benar sesuai dengan
syari’at akan diberlakukan, mereka akan segera menghadang dengan alasan : “ini
bertentangan dengan HAM”!!!
Contohnya
ketika DPRA mengesahkan Rancangan Qanun Jinayat. Saat itu Human Rights Watch
yang berpusat di New York Amerika Serikat, segera mengeluarkan sebuah pernyataan
bahwa Qanun Jinayat yang telah diluluskan oleh DPR Aceh dianggap penyiksaan
yang melanggar HAM dan bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin kebebasan
dari penyiksaan, serta undang-undang kriminal nasional RI lainnya. Human Rights
Watch menuntut Mendagri RI supaya segera mereview dan membatalkan Qanun Jinayat
Aceh tersebut. Maka kita tidak heran ketika antek mereka, yaitu Gubernur
Irwandi Yusuf, yang mana ia mengaku beragama Islam akan tetapi menolak untuk
menandatangani Qanun ini.
Bahkan tidak
cukup sampai disitu, pada akhir tahun 2010 Human Rights Watch (HRW) membuat
sebuah laporan yang berjudul “Menegakkan Moralitas: Pelanggaran dan Penerapan
Syari’ah di Aceh Indonesia”. Didalam laporan tersebut disebutkan, dua aturan
Perda Syari’ah mengenai larangan khalwat serta aturan mengenai busana Muslim,
pada pelaksanaanya telah melanggar HAM dan konstitusi Indonesia.
Dalam
rekomendasinya, Human Rights Watch mendesak pemerintah lokal di Aceh dan
pemerintah pusat Indonesia agar mencabut kedua aturan tersebut. Sejak masih
dalam draft, Perda itu telah mendapat kecaman dari para aktivis liberal dan
sekuler dengan mengusung ide hak asasi manusia (HAM). Aturan ini dianggap
terlalu multitafsir dan berpotensi melanggar hak asasi, terutama terhadap
perempuan.
Senada dengan
Human Rights Watch, Amnesty International (AI) juga meminta Pemerintah Pusat untuk
mencabut hukuman cambuk yang diberlakukan di Nanggroe Aceh Darussalam.
Permintaan itu didasari oleh peningkatan penggunaan hukum cambuk di Aceh. Sam
Zarifi, Direktur Asia Pasifik Amnesty International, melalui siaran pers pada
22 Mei 2011 mengatakan : “Tampaknya pihak berwenang Aceh semakin meningkatkan
penggunaan hukum cambuk yang melanggar hukum internasional”.
Semua yang
terjadi ini semakin menunjukkan bahwa ide HAM adalah ide berbahaya bagi umat
Islam. Ide yang didasarkan pada liberalism (kebebasan) ini berbahaya dalam
beberapa aspek. Kebebasan beragama (freedom of religion), bukanlah semata-mata
ketidakbolehan memaksa seseorang untuk memeluk agama tertentu. Tapi kebebasan
untuk murtad dari Islam, bahkan untuk tidak beragama sama sekali.
Atas dasar
kebebasan juga dilegalkan keyakinan dan praktik yang menyimpang dalam Islam.
Dengan alasan HAM, Ahmadiyah yang sesat karena menyakini Mirza Ghulam Ahmad
sebagai nabi baru setelah Rasulullah Muhammad saw atau Lia Eden yang mengaku
Jibril dibela habis-habisan. Dengan alasan yang sama shalat dengan dua bahasa
dan tidak menghadap kiblat, dibela oleh aktifis liberal. Semua ini jelas untuk
menghancurkan aqidah umat Islam.
Dalam bidang social,
dengan alasan kebebasan bertingkah laku sebagai ekpresi kebebasan individu, HAM
melegalkan praktik yang menyimpang dari Islam seperti seks bebas, homoseksual,
lesbian, dan pornografi. Akibatnya, kemaksiatan pun meluas di tengah
masyarakat.
Sementara
dalam bidang politik, ide HAM juga digunakan sebagai political hammer (palu
politik) untuk menyerang perjuangan penegakan syari’ah Islam yang merupakan
kewajiban bagi setiap muslim. Tidak hanya itu HAM juga mengancam stabilitas dan
kesatuan politik negeri-negeri Islam.
Dalam bidang
ekonomi, liberalisasi ekonomi telah menjadi jalan perampokan terhadap kekayaan
negeri-negeri Islam atas nama kebebasan pemilikan. Tambang minyak, emas, perak,
atau batu bara yang sebenarnya merupakan milik rakyat, dirampok atas nama
kebebasan investasi dan perdagangan bebas.
Namun disisi
lain, para pegiat HAM ini tidak pernah mengecam dan mencegah praktek pelanggaran
kemanusiaan yang dilakukan Amerika cs di Afghanistan, Irak, Pakistan, dan
terhadap umat Islam lainnya. Padahal kebrutalan ini telah banyak terekspose di
media-media. Para pegiat HAM juga tidak banyak berbuat ketika Negara Zionis
Israel menyerang jalur Gaza dalam membunuh sekitar 1500 rakyat Palestina hanya
dalam waktu lebih kurang 2 minggu. Meskipun terus melakukan kejahatan kemanusiaan
sistematis, negara Zionis Yahudi ini nyaris tidak tersentuh. Beginilah jadinya jika
orang-orang kafir yang berkuasa. Kemuliaan, harta dan darah dari umat islam
begitu murah dan tiada harga.
Sekarang,
mungkin saja masih banyak yang tidak percaya tentang data dan fakta yang
tersaji diatas. Atau mungkin juga ada yang perasaannya berkecamuk antara
terkejut, sedih, marah, ataupun kecewa. Tapi apa mau dikata, inilah realita. Yang
terpenting sekarang, apakah kita hanya diam saja menghadapi kenyataan pahit dan
menyesakkan dada ini ?? Apakah kita ingin agama kita, aqidah kita bahkan anak
cucu kita serta tanah aceh yang kita tinggali akan diobok-obok oleh orang-orang
kafir yang durjana ?? tentu TIDAK. Namun pasti tersisa sebuah pertanyaan besar
nan menentukan pada kita semua, apa solusi terbaik untuk keluar dari
permasalahan yang sangat kompleks ini, solusi yang mampu menangani permasalahan
ini dengan tepat dan cepat namun harus pula sesuai dengan Syari’at Islam yang
menjadi way of life seorang muslim yang benar imannya.
Solusi
Akhir dari
seluruh pembahasan ini bukan berarti kami mengajak segenap masyarakat Aceh
untuk beramai-ramai menghancurkan perdamaian ini untuk kemudian mengangkat
senjata kembali. Sama sekali bukan seperti itu. Karena perdamaian ini adalah
hak dari masyarakat Aceh seluruhnya. Disamping itu, adalah sesuatu yang wajar
jika setiap manusia lebih menginginkan suasana damai dibandingkan harus hidup
dalam kondisi perang.
Akan tetapi
kita harus mengingat, bahwasanya kita ini adalah hamba-hamba Allah. Kita ini
adalah umat Islam yang telah mempunyai aturan yang jelas dari Allah Subhanahu
Wa Ta’ala, Rabb kita. Maka jangan sampai perdamaian ini justru membuat kita mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya. Jangan sampai perdamaian ini justru membuat kita
mengkhianati agama kita dan kitab suci kita Al-Quran.
Perdamaian ini
haruslah dibungkus dengan syari’at Allah, bukan dengan MoU Helsinki yang penuh
dengan musibah. Jika bukan karena masyarakat Aceh yang masih sangat peduli
dengan Islam, tentu gelar Serambi Mekkah saat ini benar-benar sudah berganti menjadi
Serambi Tel Aviv. Seluruh makar jahat
orang-orang kafir itu kini belum berjalan sepenuhnya di Aceh karena kuatnya
pengaruh Islam pada masyarakat Aceh. Akan tetapi bukan berarti hal ini akan
berlangsung selamanya. Bukanlah sesuatu yang mustahil, semuanya akan hancur
jika kita tidak benar-benar menjaganya.
Maka harus ada
sebuah revolusi, harus ada sebuah gerakan perubahan dari masyarakat terhadap
kondisi Aceh sekarang. Masyarakat Aceh harus bergerak dan menuntut perubahan
MoU Helsinki agar benar-benar sesuai untuk kepentingan Islam dan masyarakat
Aceh atau sekalian saja menggantinya dengan Undang-undang Allah, yaitu Al-Quran
dan As-Sunnah. Dengan kata lain, perdamaian tetap dijaga, tetapi tidak dengan
Perjanjian MoU Helsinki.
Sudah cukup semua
yang kita saksikan selama ini. Berbagai aliran sesat mulai bermunculan ditengah
umat. Belum lagi dengan berbagai macam maksiat yang semakin menghancurkan
akidah dan akhlak. Belum lagi ditambah perampokan kekayaan alam yang semakin
hari semakin meningkat dengan bantuan para penguasa yang telah menjadi
pengkhianat. Walaupun perdamaian ini lahir melalui Perjanjian MoU Helsinki,
tapi terlalu banyak kepentingan orang-orang kafir didalamnya, sehingga tidak
ada alasan bagi kita untuk tetap mempertahankannya.
Sesungguhnya
kita memiliki agama yang jelas yang diturunkan oleh Allah sebagai neraca
penilai dan pemutus hukum. Neraca-neraca penilai kita berdasarkan ajaran langit
bukan berdasarkan ajaran manusia yang rendah dan lemah akal. Hukum-hukum kita berdasarkan
Al-Quran bukan berdasarkan MoU Helsinki ataupun hukum-hukum buatan. Dan keputusan-keputusan
kita berdasarkan petunjuk Nabi, bukan berdasarkan petunjuk orang-orang kafir
yahudi-nasrani.
Sesungguhnya
tanpa MoU Helsinki pun Allah sudah terlebih dahulu memerintahkan kita untuk
hidup dengan damai dibawah naungan Syari’at. Bahkan tidaklah Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam diutus, melainkan untuk menyebarkan rahmat bagi
seluruh alam semesta dan menyelamatkan manusia dari kesengsaraan dunia akhirat.
Wallahu a’lam bish shawab...